Mukena: Sejarah Pakaian Ibadah Muslimah Indonesia yang Penuh Makna

Pengantar

Mukena merupakan salah satu busana khas wanita Muslim di Indonesia yang digunakan khusus saat menunaikan ibadah salat. Pakaian ini telah menjadi simbol kesalehan dan identitas religius perempuan Indonesia selama berabad-abad. Meskipun kini hadir dalam berbagai model dan bahan, sejarah mukena berakar kuat dalam tradisi budaya dan perkembangan Islam di Nusantara.

Asal Usul Mukena

Istilah "mukena" diyakini berasal dari kata Arab "mukhannat" atau "mikhna", yang artinya adalah penutup kepala atau wajah. Namun dalam konteks Indonesia, mukena merujuk pada pakaian salat yang terdiri dari dua bagian: atasan panjang yang menutupi kepala hingga lutut dan bawahan seperti rok panjang yang menutupi kaki.

Mukena muncul sebagai adaptasi budaya lokal terhadap aturan syariat Islam mengenai aurat wanita saat salat. Di berbagai negara Muslim, busana salat wanita biasanya disesuaikan dengan pakaian harian mereka, namun di Indonesia, mukena muncul sebagai busana ibadah khusus yang terpisah dari pakaian sehari-hari.

Munculnya Mukena di Masa Islamisasi Nusantara

Proses Islamisasi di Indonesia berlangsung sejak abad ke-13, dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, dan Tiongkok. Seiring dengan penyebaran agama Islam, berkembang pula ajaran mengenai tata cara beribadah termasuk kewajiban menutup aurat saat salat.

Di masa awal penyebaran Islam, perempuan di Jawa dan wilayah lain masih mengenakan pakaian tradisional seperti kemben. Seiring waktu, seiring meningkatnya pemahaman keagamaan dan pengaruh dari ulama lokal serta budaya luar, muncullah kebutuhan akan busana salat yang lebih menutupi aurat secara sempurna. Inilah cikal bakal lahirnya mukena.

Perkembangan Mukena dari Masa ke Masa

Mukena pertama kali berkembang di kalangan masyarakat pesisir Jawa yang lebih awal mengenal Islam. Awalnya, mukena dibuat dari kain putih polos dan berukuran lebar agar mampu menutup seluruh tubuh. Modelnya sederhana, tanpa banyak hiasan.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, mukena mulai dijahit lebih rapi dan digunakan secara luas oleh perempuan Muslim. Di era ini, muncul pula ragam hias bordir, renda, dan variasi warna meskipun putih tetap menjadi warna dominan karena melambangkan kesucian.

Di masa kini, mukena hadir dalam berbagai desain: dari mukena ponco (tanpa bagian bawah), mukena traveling (ringkas dan ringan), hingga mukena premium dari sutra, rayon, atau katun jepang. Bentuknya pun sudah banyak disesuaikan agar lebih nyaman dan tetap memenuhi syarat menutup aurat dalam ibadah.

Mukena dan Identitas Budaya Indonesia

Menariknya, mukena lebih banyak dikenal di Indonesia, Malaysia, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Di negara-negara Timur Tengah, Afrika, atau Asia Selatan, wanita Muslim biasanya mengenakan abaya, jilbab, atau pakaian biasa yang memenuhi syarat syariat saat salat, bukan mukena.

Mukena dengan demikian tidak hanya berfungsi sebagai pakaian ibadah, tetapi juga sebagai cerminan budaya keislaman khas Indonesia. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia menafsirkan dan menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal.

Mukena dalam Konteks Sosial dan Ekonomi

Selain sebagai simbol ibadah, mukena juga telah menjadi komoditas ekonomi. Banyak UMKM dan pengusaha lokal memproduksi mukena dengan berbagai corak dan inovasi, dari bordir manual hingga cetak digital. Setiap tahunnya, permintaan meningkat menjelang Ramadan dan Idulfitri, menjadikan mukena bagian dari gaya hidup dan fesyen Muslimah Indonesia.

Penutup

Mukena bukan sekadar pakaian ibadah, melainkan warisan budaya Islam Nusantara yang tumbuh dari akulturasi dan pemahaman terhadap nilai-nilai religius dan lokal. Dalam mukena terkandung semangat kesalehan, kenyamanan, dan keanggunan perempuan Muslim Indonesia. Seiring zaman, bentuk dan gayanya boleh berubah, namun makna dan fungsinya tetap lestari.