Sejarah Misteri dan Keagungan Abadi Candi Borobudur

Candi Borobudur bukan hanya sekadar tumpukan batu kuno yang berdiri kokoh di Magelang, Jawa Tengah. Ia adalah mahakarya peradaban, simbol kejayaan Nusantara, dan bukti nyata bahwa nenek moyang bangsa Indonesia pernah mencapai puncak kebudayaan yang luar biasa. Setiap batu yang disusun, setiap relief yang dipahat, hingga setiap stupa yang menjulang tinggi, semua menyimpan cerita panjang tentang keyakinan, spiritualitas, serta pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejarah panjang Candi Borobudur diyakini dimulai pada masa Dinasti Syailendra sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9. Pembangunannya diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari kerajaan Mataram Kuno. Candi ini dibangun sebagai wujud pemujaan agama Buddha Mahayana, sekaligus simbol perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan. Namun di balik tujuan religiusnya, Borobudur juga menjadi representasi kejayaan politik dan kekuasaan Syailendra, yang saat itu menguasai Jawa dan menjadi pusat budaya Buddha terbesar di Asia Tenggara.
Bayangkan, tanpa teknologi modern, ribuan pekerja berhasil menyusun lebih dari dua juta balok batu andesit yang dipahat dengan presisi. Borobudur memiliki sembilan tingkat, enam berbentuk persegi dan tiga berbentuk lingkaran, dengan stupa besar di puncaknya. Jika dilihat dari atas, candi ini menyerupai mandala raksasa—simbol kosmos dalam kepercayaan Buddha. Tidak hanya itu, ada lebih dari 2.600 panel relief yang menghiasi dindingnya, menggambarkan ajaran moral, kehidupan masyarakat Jawa Kuno, hingga kisah kehidupan Buddha. Relief ini seolah menjadi kitab batu yang abadi, yang bisa dibaca oleh siapa pun yang berkeliling mengikuti jalur pradaksina searah jarum jam.
Namun perjalanan Borobudur tidak selalu terang benderang. Seiring runtuhnya Mataram Kuno, pusat kebudayaan bergeser, agama Hindu dan Islam berkembang, Borobudur perlahan terlupakan. Abad demi abad, candi megah itu terkubur oleh abu vulkanik Gunung Merapi dan tertutup hutan lebat. Dalam legenda masyarakat Jawa, Borobudur disebut sebagai bukit yang penuh misteri, bahkan dianggap membawa kutukan. Rakyat tak lagi mengenalnya sebagai pusat spiritual, melainkan sekadar bagian dari mitos yang samar.
Borobudur kembali ditemukan pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1814, ketika Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, mendengar kabar adanya bukit dengan tumpukan batu berornamen di Kedu. Ia mengutus seorang insinyur Belanda, H.C. Cornelius, untuk melakukan penyelidikan. Setelah dilakukan pembersihan selama berminggu-minggu, kemegahan Borobudur pun muncul kembali. Penemuan ini sontak mengguncang dunia arkeologi dan menjadi titik awal kebangkitan Borobudur sebagai warisan budaya.
Meski begitu, perjalanan Borobudur menuju kejayaannya kembali tidaklah mudah. Selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20, candi ini sempat mengalami kerusakan serius akibat penjarahan batu, pencurian arca, hingga pelapukan oleh alam. Banyak bagian candi yang diambil dan disebarkan ke luar negeri, bahkan ada yang dijadikan hadiah untuk raja-raja Eropa. Untungnya, kesadaran akan pentingnya pelestarian mulai tumbuh, hingga akhirnya dilakukan restorasi besar-besaran pada abad ke-20 dengan dukungan UNESCO. Proyek ini berlangsung selama 10 tahun, dari 1973 hingga 1983, melibatkan ribuan pekerja, insinyur, hingga arkeolog internasional. Restorasi ini menjadi salah satu proyek pelestarian monumen terbesar di dunia, dan sejak 1991, Candi Borobudur resmi diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO.
Candi Borobudur tidak hanya berfungsi sebagai monumen sejarah, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang masih hidup hingga kini. Setiap tahun, ribuan umat Buddha dari berbagai negara datang untuk merayakan Waisak, momen suci memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha. Pada saat itu, Borobudur kembali hidup dengan cahaya lentera, mantra, dan doa yang bergema, menjadikannya tempat pertemuan budaya dan agama yang melampaui batas geografis. Borobudur bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga milik dunia.
Selain nilai spiritual, Borobudur juga menjadi magnet pariwisata global. Jutaan wisatawan datang untuk menyaksikan kemegahannya, mengelilingi setiap relief, mendaki anak tangga hingga ke stupa puncak, dan menikmati sunrise yang memukau dari puncak candi. Pemandangan Gunung Merapi, Merbabu, dan bukit-bukit hijau di sekitarnya memberikan pengalaman tak terlupakan. Industri pariwisata lokal pun berkembang pesat, memberi kehidupan bagi masyarakat sekitar sekaligus memperkuat identitas budaya Jawa. Namun di balik gemerlap pariwisata, tantangan besar masih menghadang. Borobudur menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim, polusi udara, hingga tekanan akibat jumlah pengunjung yang sangat besar. Setiap tahun, jutaan kaki menginjak anak tangganya, membuat batu-batu kuno rentan aus dan rusak. Inilah yang membuat pemerintah bersama UNESCO menerapkan aturan baru, termasuk pembatasan jumlah pengunjung harian ke area inti candi. Langkah ini penting untuk menjaga agar Borobudur tetap lestari, tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk masa depan.
Candi Borobudur adalah saksi bisu perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Ia pernah jaya, lalu hilang ditelan waktu, kemudian bangkit kembali sebagai simbol kebanggaan. Borobudur mengajarkan bahwa kejayaan suatu bangsa bukan hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga dari kemampuan membangun karya agung yang mencerminkan spiritualitas, seni, dan ilmu pengetahuan.
Keagungan Borobudur juga menyimpan misteri yang masih terus diteliti hingga kini. Bagaimana nenek moyang bisa membangun struktur sebesar itu tanpa semen, hanya dengan mengunci batu satu sama lain? Bagaimana mereka menentukan orientasi candi yang selaras dengan kosmologi Buddha? Pertanyaan-pertanyaan ini menegaskan bahwa Borobudur bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga teka-teki peradaban yang menantang generasi modern untuk terus belajar.
Bagi bangsa Indonesia, Borobudur adalah warisan yang tak ternilai. Ia menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Ia mengingatkan kita bahwa di tanah Nusantara ini, pernah lahir sebuah karya besar yang mampu memikat dunia. Maka sudah sepatutnya kita menjaga, merawat, dan menghormati Borobudur bukan hanya sebagai objek wisata, tetapi juga sebagai identitas bangsa.
Borobudur adalah monumen keabadian. Setiap pahatan batu, setiap relief yang bercerita, dan setiap stupa yang menjulang adalah bisikan sejarah yang tak pernah padam. Ia adalah doa yang membatu, sekaligus simbol persatuan manusia dengan alam semesta. Dan selagi ia berdiri kokoh di tengah hamparan tanah Jawa, Borobudur akan selalu menjadi cahaya yang menuntun peradaban.
Comments
Post a Comment